Lomba Menangis Bayi Naki Sumo: Kontroversi dan Konteks Budaya di Balik Tradisi Ini


Lomba Menangis Bayi Naki Sumo: Kontroversi dan Konteks Budaya di Balik Tradisi Ini

Lomba Menangis Bayi Naki Sumo telah menjadi perdebatan panjang di kalangan masyarakat Jepang maupun dunia internasional. Tradisi yang melibatkan bayi yang berusia beberapa bulan untuk berkompetisi menangis ini mengundang perhatian dari berbagai kalangan, baik yang mendukung maupun yang menentang.

Dalam tradisi ini, bayi-bayi yang berpartisipasi akan ditempatkan di atas panggung dan dihadapkan dengan seorang pria yang mengenakan topeng hantu Naki Sumo. Tujuan dari lomba ini adalah untuk membuat bayi menangis secepat mungkin dengan berbagai cara, seperti menggoyangkan mereka atau menakut-nakuti dengan topeng.

Beberapa orang yang mendukung tradisi ini berargumen bahwa Lomba Menangis Bayi Naki Sumo merupakan bagian dari warisan budaya Jepang yang harus dilestarikan. Mereka percaya bahwa lomba ini dapat membantu melatih ketahanan emosional bayi dan menguatkan hubungan antara orang tua dan anak.

Namun, tidak sedikit pula yang menentang tradisi ini. Mereka berpendapat bahwa memaksa bayi untuk menangis hanya untuk kepentingan hiburan adalah tidak etis dan dapat berdampak negatif pada perkembangan psikologis mereka. Dr. Hiroshi Ishiguro, seorang ahli psikologi anak dari Universitas Tokyo, menyatakan bahwa “memaksa bayi untuk menangis hanya akan menciptakan trauma emosional pada mereka.”

Meskipun demikian, Lomba Menangis Bayi Naki Sumo masih terus dilakukan setiap tahun di berbagai festival di Jepang. Hal ini memunculkan pertanyaan tentang sejauh mana tradisi budaya dapat dipertahankan tanpa merugikan individu atau kelompok tertentu.

Sebagai masyarakat global yang semakin terhubung, kita perlu mempertimbangkan nilai-nilai budaya dengan bijak dan menghormati perspektif orang lain. Lomba Menangis Bayi Naki Sumo adalah salah satu contoh yang menunjukkan pentingnya dialog dan diskusi terbuka tentang tradisi budaya yang kontroversial. Semoga kita dapat menemukan titik tengah yang menghormati nilai-nilai budaya tanpa mengabaikan kepentingan individu.